Judul Asli : Menyiapkan Anak Autis
oleh : UNTUNG S. DRAZAT:
[dikutip dari Rubrik PROFESI, Majalah d’Maestro, edisi Juni 2004]
Suasana riuh memenuhi ruang kelas berukuran sekitar 50 meter persegi itu. Murid-murid yang hanya terdiri dari 10 orang itu berebut memberikan penilaian terhadap target mingguan teman-temannya. Suasana makin heboh karena ada seorang murid yang tidak terima dengan penilaian teman-temannya.
Adu argumentasi pun terjadi. Sang guru dengan berbagai jurus pendekatan, mencoba memberi penjelasan kepada si murid kenapa ia tidak mencapai target untuk ”tidak memancing perhatian teman-teman di kelas”. Tetapi, si murid tetap bersikeras tidak melakukan hal-hal yang memancing perhatian. Bahwa perbuatan membuka diari sebelum waktunya tidak membuat teman-temannya mengalihkan perhatian kepadanya. Akhirnya adu argumentasi diakhiri, dan kata sepakat didapati. Si murid dianggap tetap dinilai mencapai target, tetapi diminta untuk tidak mengulangi lagi perbuatannya.
Begitulah keseharian yang dihadapi Untung S. Drazat. Murid-murid yang dihadapi guru kelahiran Cirebon, 33 tahun lalu itu memang bukan seperti umumnya anak-anak lain. Mereka adalah anak-anak yang mengalami kesulitan belajar atau learning disablitity (LD) karena mengalami dyslexia, dysgraphia, dan dyscalculia, menyandang attention deficit disorders (ADD) atau attention deficit hyperactivitiy disorders (ADHD), dan autisme.
”Mereka adalah anak-anak yang mengalami gangguan perhatian, tidak bisa fokus ke satu hal. Belum selesai mempersepsi, memahami satu objek, perhatian mereka sudah pindah ke objek lain. Karena masalah perhatiannya ini, mereka mengalami gangguan dalam mempersepsi. Hal ini menyebabkan pemahamaannya terbatas dan tidak utuh. Akhirnya, banyak pelajaran tertinggal. Mengingat pemahaman itu melalui proses melihat, mendengar, meraba. Padahal di kelas, pengalaman paling banyak diperoleh melalui melihat, mendengar, dan melakukan. Dan, itu yang sangat minim pada mereka,” papar Untung, yang juga menjabat sebagai Wakil Kepala SD Pantara.
Menurut pria yang gemar membaca dan browsing ini, hambatan dalam mempersepsi dan memahami suatu peristiwa secara utuh itulah yang menyebabkan murid yang tadi protes; ia sulit memahami bahwa perbuatannya, yang tergesa-gesa membuka diari, membuat perhatian teman-temannya beralih dan terganggu. ”Jadi, mereka kadang-kadang hanya ingat ujungnya saja. Misalnya, ada seorang murid mengganggu temannya, dan karena kesal si temannya menonjok dia. Lalu murid ini mengadu kepada guru bahwa ia ditonjok temannya. Ia tidak sepenuhnya paham kalau ia ditonjok justru karena mengganggu teman,” papar pria yang sudah menangani anak-anak berkesulitan belajar sejak tahun 1997.
Tepatnya,Untung menangani mereka sejak masih kuliah di IKIP Bandung. ”Ketika itu saya menjadi salah satu guru pembimbing di pusat terapi milik dosen saya, Bapak Sugiarmin. Itulah awal saya berkenalan dengan bidang LD, dan saya langsung tertarik untuk terus mendalami karena ada tantangan” kenang Untung. ”Saya suka dengan dunia anak-anak yang ’tiba-tiba’, ’ajaib’, dan spontan. Hampir semua anak di sini punya kelebihan; ada yang hafal nama-nama jalan di Jakarta, ada yang memiliki photographic memory, sehingga dia mengingat detail sebuah objek seakan-akan melihat foto, dan sebgian mereka IQ-nya di atas rata-rata. Ini yang membuat saya tertantang: kenapa anak-anak yang punya kelebihan itu prestasinya tidak bisa berkembang sesuai potensinya, bagaimana menyiasati faktor gangguan penyerta tersebut?” tambahnya.
oleh : UNTUNG S. DRAZAT:
[dikutip dari Rubrik PROFESI, Majalah d’Maestro, edisi Juni 2004]
Siang itu suasana kelas V di SD Pantara di bilangan Kebayoran Baru, Jakarta Selatan sangat meriah. Saat itu adalah sesi akhir kegiatan belajar hari itu, saatnya mengevaluasi target capaian murid yang dirumuskan sendiri oleh masing-masing murid setiap minggunya.
Suasana riuh memenuhi ruang kelas berukuran sekitar 50 meter persegi itu. Murid-murid yang hanya terdiri dari 10 orang itu berebut memberikan penilaian terhadap target mingguan teman-temannya. Suasana makin heboh karena ada seorang murid yang tidak terima dengan penilaian teman-temannya.
Adu argumentasi pun terjadi. Sang guru dengan berbagai jurus pendekatan, mencoba memberi penjelasan kepada si murid kenapa ia tidak mencapai target untuk ”tidak memancing perhatian teman-teman di kelas”. Tetapi, si murid tetap bersikeras tidak melakukan hal-hal yang memancing perhatian. Bahwa perbuatan membuka diari sebelum waktunya tidak membuat teman-temannya mengalihkan perhatian kepadanya. Akhirnya adu argumentasi diakhiri, dan kata sepakat didapati. Si murid dianggap tetap dinilai mencapai target, tetapi diminta untuk tidak mengulangi lagi perbuatannya.
Begitulah keseharian yang dihadapi Untung S. Drazat. Murid-murid yang dihadapi guru kelahiran Cirebon, 33 tahun lalu itu memang bukan seperti umumnya anak-anak lain. Mereka adalah anak-anak yang mengalami kesulitan belajar atau learning disablitity (LD) karena mengalami dyslexia, dysgraphia, dan dyscalculia, menyandang attention deficit disorders (ADD) atau attention deficit hyperactivitiy disorders (ADHD), dan autisme.
”Mereka adalah anak-anak yang mengalami gangguan perhatian, tidak bisa fokus ke satu hal. Belum selesai mempersepsi, memahami satu objek, perhatian mereka sudah pindah ke objek lain. Karena masalah perhatiannya ini, mereka mengalami gangguan dalam mempersepsi. Hal ini menyebabkan pemahamaannya terbatas dan tidak utuh. Akhirnya, banyak pelajaran tertinggal. Mengingat pemahaman itu melalui proses melihat, mendengar, meraba. Padahal di kelas, pengalaman paling banyak diperoleh melalui melihat, mendengar, dan melakukan. Dan, itu yang sangat minim pada mereka,” papar Untung, yang juga menjabat sebagai Wakil Kepala SD Pantara.
Menurut pria yang gemar membaca dan browsing ini, hambatan dalam mempersepsi dan memahami suatu peristiwa secara utuh itulah yang menyebabkan murid yang tadi protes; ia sulit memahami bahwa perbuatannya, yang tergesa-gesa membuka diari, membuat perhatian teman-temannya beralih dan terganggu. ”Jadi, mereka kadang-kadang hanya ingat ujungnya saja. Misalnya, ada seorang murid mengganggu temannya, dan karena kesal si temannya menonjok dia. Lalu murid ini mengadu kepada guru bahwa ia ditonjok temannya. Ia tidak sepenuhnya paham kalau ia ditonjok justru karena mengganggu teman,” papar pria yang sudah menangani anak-anak berkesulitan belajar sejak tahun 1997.
Tepatnya,Untung menangani mereka sejak masih kuliah di IKIP Bandung. ”Ketika itu saya menjadi salah satu guru pembimbing di pusat terapi milik dosen saya, Bapak Sugiarmin. Itulah awal saya berkenalan dengan bidang LD, dan saya langsung tertarik untuk terus mendalami karena ada tantangan” kenang Untung. ”Saya suka dengan dunia anak-anak yang ’tiba-tiba’, ’ajaib’, dan spontan. Hampir semua anak di sini punya kelebihan; ada yang hafal nama-nama jalan di Jakarta, ada yang memiliki photographic memory, sehingga dia mengingat detail sebuah objek seakan-akan melihat foto, dan sebgian mereka IQ-nya di atas rata-rata. Ini yang membuat saya tertantang: kenapa anak-anak yang punya kelebihan itu prestasinya tidak bisa berkembang sesuai potensinya, bagaimana menyiasati faktor gangguan penyerta tersebut?” tambahnya.
0 komentar:
Posting Komentar